Rabu, 09 Juni 2010

lahan gambut

Mengenal gambut

Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa jaringan vegetasi alami pada masa lampau. Gambut biasanya terbentuk di daerah
cekungan di belakang tanggul sungai yang selalu jenuh air. Di sana, proses dekomposi berjalan sangat lambat karena drainasenya terhambat. Lahan gambut
berperan penting dalam tata air kawasan. Ia bersifat seperti spon penyerap kelebihan air di musim hujan hingga dapat mencegah banjir. Sementara itu, di
musim kemarau, air yang dimilikinya akan terlepas secara perlahan.

Sejumlah satwa langka, seperti buaya senyulong dan harimau sumatra, menjadikan lahan gambut sebagai tempat berlindung. Lahan gambut juga berperan penting bagi
seisi alam dalam kapasitasnya sebagai penyimpan karbon. Gangguan fungsi yang satu ini dapat menyebabkan lepasnya karbon ke atmosfer dan mendorong laju
perubahan iklim. Kerusakan gambut antara lain dipicu oleh kegiatan penebangan liar, pembukaan lahan untuk pertanian, industri, dan pemukiman. Pembuatan parit atau kanal juga
merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan gambut. Aktivitas tadi berdampak pada pengeringan gambut, amblasnya lahan, dan intrusi air laut. Kondisi
tersebut membuat lahan gambut mudah terbakar di musim kemarau dan tidak dapat menampung air di musim hujan.

Pemanfaatan lahan di Indonesia sejak dulu telah salah arah. Lahan subur, terutama di Jawa, tak terbendung terus berubah fungsi ke
nonpertanian. Sementara itu, kebutuhan pangan yang terus meningkat memaksa pemanfaatan lahan kering dan marginal yang umumnya di luar Jawa.
Di sinilah rekayasa teknologi berperan untuk mengubahnya menjadi lahan subur. Salah satu yang kini gencar disasari adalah lahan gambut.

Dalam ASEAN-China Workshop on the Development of Effective Microbial Consortium Poten in Peat Modification di Jakarta, Senin (10/11), tim peneliti mikroba dari Pusat Teknologi Bioindustri BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), yang diketuai Gatyo Angkoso, melaporkan keberhasilan mereka menyuburkan lahan gambut dengan menambahkan limbah selulosa dari perkebunan kelapa sawit dan memasukkan secara bersamaan beberapa jenis isolat mikroba tertentu.

Perlakuan ini dapat mengurangi tingkat keasaman atau menaikkan pH lahan gambut dari rata-rata 3,5 menjadi 5,5, jelas Direktur Pusat Teknologi Bioindustri, Koesnandar, yang juga terlibat dalam riset tersebut, di Rasau dan Siantan, Kalimantan Barat. Selama ini lahan gambut secara alami memang tidak subur karena memiliki keasaman tinggi atau kebasaannya (pH) rendah, antara 2,8 dan 4,5. Sifat lain lahan gambut yang tidak menguntungkan adalah nilai kapasitas tukar kation dan kandungan organik yang tinggi.

Penyuburan lahan gambut dilakukan dengan memasukkan konsorsia atau beberapa kelompok mikroba. Dijelaskan Diana Nurani, peneliti, riset yang dilakukan sejak tahun 2006 berhasil diisolasi puluhan mikroba di dua daerah di Pontianak itu. Dari puluhan ditemukan empat kelompok mikroba yang memiliki kinerja yang baik dalam meningkatkan kebasaan lahan gambut.

Ditambahkan Koesnandar, mikroba itu ditemukan di lahan gambut, pada limbah kelapa sawit, dan kotoran sapi. Dari efeknya pada tanah gambut, konsorsia mikroba itu bersimbiosa mutualisme. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk meneliti peran dan karakteristik masing- masing mikroba.

Aplikasi empat kelompok mikroba pada tanah gambut selain dapat meningkatkan pH, juga terbukti memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketersediaan mineral. Keuntungan lainnya adalah mengganti cara konvensional, yaitu pembakaran yang biasa dilakukan petani di lahan gambut untuk meningkatkan pH tanah gambut.

Indonesia memiliki kawasan gambut keempat terluas di dunia, yakni 20,6 juta hektar. Peringkat pertama adalah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut di Indonesia terbanyak dijumpai di Sumatera (35 persen), Kalimantan (30 persen), dan Papua (30 persen).

Kebakaran lahan gambut mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan kebakaran di areal mineral. Kebakaran lahan gambut tidak berada di atas permukaan yang pemadamannya relatif lebih mudah. Meskipun sumber pertama api tetap dari permukaan melalui sistem pembukaan lahan dengan cara membakar, namun penyebaran api pada lahan gambut berada di bawah permukaan (ground fire).

Api membakar bahan organik pembentuk gambut melalui pori-pori gambut secara tidak menyala (smoldering) sehingga yang terlihat ke permukaan hanya kepulan asap putih. Dengan karekteristik ini maka pemadaman api akan sangat sulit karena harus dilakukan dari dalam gambut itu sendiri dan dari atas karena penyebaran api di lahan gambut bisa secara horizontal dan vertikal ke atas.

Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala di bawah permukaan dalam waktu yang lama (bahkan tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih kering lagi. Api yang menyala di bawah permukaan akan merusak sistem perakaran pohon. Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar yang potensil bagi kebakaran berikutnya.

Secara ekologi, pembakaran lahan gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir). Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka-panjang. Meski pemerintah melalui Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung memberikan perlindungan terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, namun hal ini tak otomatis menyelesaikan persoalan gambut. Kian menyempitnya ketersediaan lahan mineral rupanya telah mendorong berbagai praktik pemanfaatan lahan gambut dengan ketebalan di bawah 3 meter oleh para pengusaha (tentu dengan izin pemda).

Jarang para pengusaha itu memikirkan pengaruh praktik-praktik tersebut terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter yang nota bene dilindungi. Padahal keduanya tak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pada kenyataannya lahan gambut dengan perbedaan kedalaman tersebut bisa jadi merupakan satu ekosistem atau dalam satu landscape. Kebijakan pemerintah dalam membolehkan pemanfaatan lahan gambut kurang dari 3 meter akan mempengaruhi lahan gambut yang dilindungi (3 meter lebih itu). Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya. Yakni dengan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan lahan gambut harus dicegah.

Perlindungan terhadap kawasan gambut dengan sendirinya akan mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir. Dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi ekologi yang penting: mengatur air di dalam dan di permukaan tanah.

Dengan sifatnya yang seperti spon, gambut dapat menyerap air yang berlebihan, yang kemudian secara kontinye dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir juga kekeringan. Tak hanya itu, perlindungan kawasan gambut akan menjaga keanekaragaman hayati dengan banyak jenis yang unik dan hanya dijumpai di daerah lahan gambut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar